TUGAS ASPEK HUKUM
DALAM EKONOMI# PASAR TIDAK SEHAT
Dosen:
Widiyarsih
Disusun
Oleh :
PUTRI
ARTA SIANTURI
(28214584)
2EB30
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
ATA 2015/
2016
CONTOH KASUS PASAR TIDAK SEHAT “PASAR MONOPOLI”
Warga negara Indonesia menganggap bahwa listrik merupakan kebutuhan
vital bagi kehidupannya sehari-hari. Setiap aktivitas yang dilakukan oleh
manusia tidak dapat terlepas dari listrik. Bahkan di desa terpencil sekalipun
saat ini sudah dapat menikmati fasilitas listrik. Namun kini, Indonesia sedang
mengalami krisis listrik. Listrik menjadi sesuatu yang mahal dan langka
disebabkan ketersediaannya yang sangat terbatas. Salah satu faktor yang menjadi
pemicu kelangkaan listrik ini adalah pertumbuhan akan kebutuhan tenaga listrik
yang semakin meningkat sementara tidak diimbangi oleh usaha penyediaan tenaga
listrik yang memadai.
PT. Perusahaan
Listrik Negara Persero (PT. PLN) merupakan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang memiliki kewajiban untuk menyediakan kebutuhan listrik di
Indonesia. Namun faktanya, masih banyak kasus di mana mereka malah justru
merugikan masyarakat. Di satu sisi kegiatan monopoli mereka
dimaksudkan untuk kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat sesuai UUD 1945 Pasal 33, namun di sisi lain, tindakan PT.
PLN ini justru belum atau bahkan tidak menunjukkan kinerja yang baik dalam
pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat.
Wacana mengenai krisis listrik ini sebenarnya telah muncul sejak awal
tahun 2002 atau akhir tahun 2001. Pada waktu itu hingga sekarang muncul
pemikiran untuk keterlibatan pihak swasta terhadap pengelolaan
ketenagalistrikan di Indonesia yang selama ini dimonopoli oleh PLN. Keadaan
krisis listrik yang parah ditunjukkan oleh fenomena listrik padam serentak
se-Jawa Bali pada Rabu, 20 Februari 2008 karena terjadi defisit pasokan listrik
hingga 1.044 MW. Saat itu, pemerintah bersiap untuk mengumumkan keadaan darurat
jika defisit mencapai 1.500 MW. Krisis listrik di Indonesia bisa dikatakan
sudah berada dalam tahap yang mengkhawatirkan. Di beberapa wilayah, tiada hari
tanpa pemadaman berlgilir. Sistem Jawa-Bali yang paling maju dan terinterkoneksi
juga masih sering mengalami masalah.
Krisis listrik memuncak saat PT.
Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN) memberlakukan pemadaman listrik secara
bergiliran di berbagai wilayah termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama periode
11-25 Juli 2008. Hal ini diperparah oleh pengalihan jam operasional kerja
industri ke hari Sabtu dan Minggu, sekali sebulan. Semua industri di Jawa-Bali
wajib menaati, dan sanksi bakal dikenakan bagi industri yang membandel. Dengan
alasan klasik, PLN berdalih pemadaman dilakukan akibat defisit daya listrik
yang semakin parah karena adanya gangguan pasokan batubara pembangkit utama di
sistem kelistrikan Jawa-Bali, yaitu di pembangkit Tanjung Jati, Paiton Unit 1
dan 2, serta Cilacap. Namun, di saat yang bersamaan terjadi juga permasalahan
serupa untuk pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU Muara Tawar dan PLTGU
Muara Karang.
Minimnya
pasokan listrik sebagian besar dipicu stagnasi produksi PLN. PLN sebagai
pemasok 90% kebutuhan listrik nasional sulit meningkatkan produksi karena
minimnya keuangan perusahaan sehingga sulit diharapkan dapat melakukan
ekspansi. Produksi PLN yang sudah ada juga tidak optimal dan mahal karena
sebagian besar pembangkit sudah tua, boros bahan bakar, kekurangan pasokan
energi primer, dan sering mengalami kerusakan. PLN juga dikenal tidak efisien,
seperti susut daya listrik yang besar, mahalnya harga pembelian listrik swasta,
tingginya kasus pencurian listrih hingga korupsi. Stagnasi ini juga dipicu oleh
pembangunan listrik yang tidak bervisi ke depan akibat subsidi BBM regresif
membuat sebagian besar pembangkit PLN adalah pembangkit termal yang kini kian
mahal. Selain mahal, konversi energi bahan bakar fosil menjadi listrik juga
sangat tidak efisien (hanya sekitar 30%) dan tidak ramah lingkungan.
Hingga kini, sebagian besar produksi
listrik nasional masih mengandalkan bahan bakar fosil. Kodisi PLN yang demikian
ini akan menjadi semakin terpuruk apabila tidak dibenahi, karena permintaan
listrik akan terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk. Pertumbuhan
konsumsi listrik diperkirakan 8-10% per tahun hingga 2013. Dengan demikian
krisis yang disebabkan kesenjangan (gap) antara permintaan dan pawaran
sudah terprediksi sejak lama. Jika tidak ada tambahan kapasitas yang berarti,
krisis pada sistem Jawa-Bali dan sistem interkoneksi Sumatra hanya tinggal
menunggu waktu.
Beberapa dekade ini, fungsi PT. PLN
sebagai pembangkit, distribusi, dan transmisi listrik mulai dipecah. Swasta
diizinkan berpartisipasi dalam upaya pembangkitan tenaga listrik. Sementara
untuk distribusi dan transmisi tetap ditangani PT. PLN. Saat ini telah ada 27 Independent Power Producer di
Indonesia. Mereka termasuk Siemens, General Electric, Enron, Mitsubishi,
Californian Energy, Edison Mission Energy, Mitsui & Co, Black & Veath
Internasional, Duke Energy, Hoppwell Holding, dan masih banyak lagi. Tetapi
dalam menentukan harga listrik yang harus dibayar masyarakat tetap ditentukan
oleh PT. PLN sendiri. Artinya bahwa pihak swasta sangat dibutuhkan untuk ikut
serta dalam usaha penyediaan tenaga listrik di samping PLN sebagai salah satu
pelaksana kegiatan usaha penyediaan tenaha listrik di Indonesia. Hal ini
dilakukan dalam koridor kepentingan masyarakat luas terutama dalam hal
menetapkan tarif yang dapat dijangkau masyarakat sesuai dengan kemampuan
ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat.
OPINI
Keberadaan PLN saat ini sangat
mendominasi dan memonopoli ketenagalistrikan di Indonesia. Tetapi keberadaannya
tersebut malah tidak mampu melayani masyarakat pengguna listrik tersebut
sementara keterlibatan swasta dalam bisnis listrik secara langsung (menjadi
kompetitor PLN) sulit dilakukan karena terdapat preseden putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) No. 001-021-022/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa UU No. 20
Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan tidak memiliki kekuatan mengikat. UU No.
20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan memiliki perbedaan signifikan dengan UU
No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan yang lama.[4]
Dalam UU No.20 Tahun 2002 dijelaskan bahwa semua
pelaku usaha diberikan kesempatan yang lebih luas untuk dapat masuk dalam usaha
penyediaan tenaga listrik. Selain itu hal yang cukup berbeda ialah bahwa
undang-undang ini telah mengatur hal-hal yang terkait dalam penerapan kompetisi
di wilayah-wilayah tertentu. Sesungguhnya melalui UU No. 20 Tahun 2002 tersebut
akan dimungkinkan keterlibatan swasta menjadi pelaku usaha yang menyediakan
listrik di Indonesia. Telaah terhadap putusan MK tersebut menjadi menarik
dikarenakan secara tidak langsung mendukung PLN dalam memonopoli
ketenagalistrikan di Indonesia padahal secara prediktif pada tahun 2003 telah
tergambar akan adanya krisis listrik disebabkan kemampuan PLN yang tidak cukup
untuk menjamin pasokan listrik se Indonesia. Oleh karena itu, makalah ini akan
mendeskripsikan persoalan monopoli yang dilakukan oleh PLN dalam perspektif
hukum anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.