Minggu, 05 Juni 2016

CONTOH KASUS PASAR TIDAK SEHAT “PASAR MONOPOLI”



TUGAS ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI# PASAR TIDAK SEHAT


Dosen:
Widiyarsih

Disusun Oleh :
PUTRI ARTA SIANTURI
(28214584)
    2EB30

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
ATA 2015/ 2016

CONTOH KASUS PASAR TIDAK SEHAT “PASAR MONOPOLI”
Warga negara Indonesia menganggap bahwa listrik merupakan kebutuhan vital bagi kehidupannya sehari-hari. Setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia tidak dapat terlepas dari listrik. Bahkan di desa terpencil sekalipun saat ini sudah dapat menikmati fasilitas listrik. Namun kini, Indonesia sedang mengalami krisis listrik. Listrik menjadi sesuatu yang mahal dan langka disebabkan ketersediaannya yang sangat terbatas. Salah satu faktor yang menjadi pemicu kelangkaan listrik ini adalah pertumbuhan akan kebutuhan tenaga listrik yang semakin meningkat sementara tidak diimbangi oleh usaha penyediaan tenaga listrik yang memadai.
PT. Perusahaan Listrik Negara Persero (PT. PLN) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memiliki kewajiban untuk menyediakan kebutuhan listrik di Indonesia. Namun faktanya, masih banyak kasus di mana mereka malah justru merugikan masyarakat. Di satu sisi kegiatan monopoli mereka dimaksudkan untuk kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai UUD 1945 Pasal 33, namun di sisi lain, tindakan PT. PLN ini justru belum atau bahkan tidak menunjukkan kinerja yang baik dalam pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat.
Wacana mengenai krisis listrik ini sebenarnya telah muncul sejak awal tahun 2002 atau akhir tahun 2001. Pada waktu itu hingga sekarang muncul pemikiran untuk keterlibatan pihak swasta terhadap pengelolaan ketenagalistrikan di Indonesia yang selama ini dimonopoli oleh PLN. Keadaan krisis listrik yang parah ditunjukkan oleh fenomena listrik padam serentak se-Jawa Bali pada Rabu, 20 Februari 2008 karena terjadi defisit pasokan listrik hingga 1.044 MW. Saat itu, pemerintah bersiap untuk mengumumkan keadaan darurat jika defisit mencapai 1.500 MW. Krisis listrik di Indonesia bisa dikatakan sudah berada dalam tahap yang mengkhawatirkan. Di beberapa wilayah, tiada hari tanpa pemadaman berlgilir. Sistem Jawa-Bali yang paling maju dan terinterkoneksi juga masih sering mengalami masalah.
Krisis listrik memuncak saat PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN) memberlakukan pemadaman listrik secara bergiliran di berbagai wilayah termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal ini diperparah oleh pengalihan jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan Minggu, sekali sebulan. Semua industri di Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi bakal dikenakan bagi industri yang membandel. Dengan alasan klasik, PLN berdalih pemadaman dilakukan akibat defisit daya listrik yang semakin parah karena adanya gangguan pasokan batubara pembangkit utama di sistem kelistrikan Jawa-Bali, yaitu di pembangkit Tanjung Jati, Paiton Unit 1 dan 2, serta Cilacap. Namun, di saat yang bersamaan terjadi juga permasalahan serupa untuk pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU Muara Tawar dan PLTGU Muara Karang.
Minimnya pasokan listrik sebagian besar dipicu stagnasi produksi PLN. PLN sebagai pemasok 90% kebutuhan listrik nasional sulit meningkatkan produksi karena minimnya keuangan perusahaan sehingga sulit diharapkan dapat melakukan ekspansi. Produksi PLN yang sudah ada juga tidak optimal dan mahal karena sebagian besar pembangkit sudah tua, boros bahan bakar, kekurangan pasokan energi primer, dan sering mengalami kerusakan. PLN juga dikenal tidak efisien, seperti susut daya listrik yang besar, mahalnya harga pembelian listrik swasta, tingginya kasus pencurian listrih hingga korupsi. Stagnasi ini juga dipicu oleh pembangunan listrik yang tidak bervisi ke depan akibat subsidi BBM regresif membuat sebagian besar pembangkit PLN adalah pembangkit termal yang kini kian mahal. Selain mahal, konversi energi bahan bakar fosil menjadi listrik juga sangat tidak efisien (hanya sekitar 30%) dan tidak ramah lingkungan.
Hingga kini, sebagian besar produksi listrik nasional masih mengandalkan bahan bakar fosil. Kodisi PLN yang demikian ini akan menjadi semakin terpuruk apabila tidak dibenahi, karena permintaan listrik akan terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk. Pertumbuhan konsumsi listrik diperkirakan 8-10% per tahun hingga 2013. Dengan demikian krisis yang disebabkan kesenjangan (gap) antara permintaan dan pawaran sudah terprediksi sejak lama. Jika tidak ada tambahan kapasitas yang berarti, krisis pada sistem Jawa-Bali dan sistem interkoneksi Sumatra hanya tinggal menunggu waktu.
Beberapa dekade ini, fungsi PT. PLN sebagai pembangkit, distribusi, dan transmisi listrik mulai dipecah. Swasta diizinkan berpartisipasi dalam upaya pembangkitan tenaga listrik. Sementara untuk distribusi dan transmisi tetap ditangani PT. PLN. Saat ini telah ada 27 Independent Power Producer di Indonesia. Mereka termasuk Siemens, General Electric, Enron, Mitsubishi, Californian Energy, Edison Mission Energy, Mitsui & Co, Black & Veath Internasional, Duke Energy, Hoppwell Holding, dan masih banyak lagi. Tetapi dalam menentukan harga listrik yang harus dibayar masyarakat tetap ditentukan oleh PT. PLN sendiri. Artinya bahwa pihak swasta sangat dibutuhkan untuk ikut serta dalam usaha penyediaan tenaga listrik di samping PLN sebagai salah satu pelaksana kegiatan usaha penyediaan tenaha listrik di Indonesia. Hal ini dilakukan dalam koridor kepentingan masyarakat luas terutama dalam hal menetapkan tarif yang dapat dijangkau masyarakat sesuai dengan kemampuan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat.

OPINI
Keberadaan PLN saat ini sangat mendominasi dan memonopoli ketenagalistrikan di Indonesia. Tetapi keberadaannya tersebut malah tidak mampu melayani masyarakat pengguna listrik tersebut sementara keterlibatan swasta dalam bisnis listrik secara langsung (menjadi kompetitor PLN) sulit dilakukan karena terdapat preseden putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 001-021-022/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan tidak memiliki kekuatan mengikat. UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan memiliki perbedaan signifikan dengan UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan yang lama.[4]
Dalam UU No.20 Tahun 2002 dijelaskan bahwa semua pelaku usaha diberikan kesempatan yang lebih luas untuk dapat masuk dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Selain itu hal yang cukup berbeda ialah bahwa undang-undang ini telah mengatur hal-hal yang terkait dalam penerapan kompetisi di wilayah-wilayah tertentu. Sesungguhnya melalui UU No. 20 Tahun 2002 tersebut akan dimungkinkan keterlibatan swasta menjadi pelaku usaha yang menyediakan listrik di Indonesia. Telaah terhadap putusan MK tersebut menjadi menarik dikarenakan secara tidak langsung mendukung PLN dalam memonopoli ketenagalistrikan di Indonesia padahal secara prediktif pada tahun 2003 telah tergambar akan adanya krisis listrik disebabkan kemampuan PLN yang tidak cukup untuk menjamin pasokan listrik se Indonesia. Oleh karena itu, makalah ini akan mendeskripsikan persoalan monopoli yang dilakukan oleh PLN dalam perspektif hukum anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.